Senin, 22 November 2010

Binar Kesepian

Syarief Wadja Bae

Kesepian tumpah berserakan
bahkan becek dan memecah arah.
Pada relung pagi daun-daun berbisik
tentang kabut yang beranjak menutupi
tikungan tempat lahir aksara
yang membakar menit jika saja
sedikit gesekan terjadi
dan perang akan jadi akibat

Kunang-kunang menutup diri
dengan payung hitam
mengibar niat untuk menembus pagi
karena belum usai membekali kupu-kupu
pembawa tinta yang dikirim
untuk kertas-kertas dalam bilik abu-abu

Tak mau hanya dengan mengalir saja
tanpa memahami lubang-lubang
yang menjadi tempat menampung
dan mengendapkan segala aku
yang bisa mengakar lagi,
membuat isi kepala berjamur taring
hingga mata buta karena gagal
merekam mekar mawar yang dibungkus
binar kejujuran

Semua akan rugi bila yang dibangun
tiba-tiba menjelma fatamorgana.
Bersekutulah dengan musim
agar paham dan bertahan sampai
tujuan tanpa tameng yang disulap otak
untuk membangunkan penyakit lama


Maret 2010

Rabu, 11 Agustus 2010

Guci kosong menunggu diisi

Syarif Wadja Bae

Guci kosong menunggu diisi.
setelah diisi menunggu ditimbang.
lalu ditumpahkan ke dalam bilik putih.
kemudian guci kosong lagi.
selalu begitu. berulang-ulang.

Sebaiknya aku hancurkan saja guci itu.
bukan karena tak mau ditimbang.

Tapi aku ingin jadi guci untuk apa yang terisi dalam diri ini.
Agar aku tau pasti, tentang apa yang ditumpahkan kedalam bilik putih.
Karena bilik hitam beserta isinya telah menamparku.


11 Agustus 2010 – 1 Ramadhan 1431H

Kamis, 03 Juni 2010

Ingkar

Syarif Wadja Bae

Di antara kepingan perih,
Kau tambahkan gumpalan gelap yang membungkus api didadamu untuk dendam yang tak pernah usai.

Goresan luka semakin lebar di kalbu yang lapar akan hak.
Kalbu dengan darah yang membentuk mawar.
Semburat ke pintu langit.
Berteriak hingga serak.

Sebelum kau buat perjanjian, ajaklah egomu bersepakat dengan hatimu.
Renungkan, jika seandainya hakmu dirampas.
Terkutuk kau !!!

*Juni 2010

Puisi lain, klik di sini.

Senin, 29 Maret 2010

Binar Kesepian

Syarief Wadja Bae

Kesepian tumpah berserakan
bahkan becek dan memecah arah.
Pada relung pagi daun-daun berbisik
tentang kabut yang beranjak menutupi
tikungan tempat lahir aksara
yang membakar menit jika saja
sedikit gesekan terjadi
dan perang akan jadi akibat

Kunang-kunang menutup diri
dengan payung hitam
mengibar niat untuk menembus pagi
karena belum usai membekali kupu-kupu
pembawa tinta yang dikirim
untuk kertas-kertas dalam bilik abu-abu

Tak mau hanya dengan mengalir saja
tanpa memahami lubang-lubang
yang menjadi tempat menampung
dan mengendapkan segala aku
yang bisa mengakar lagi,
membuat isi kepala berjamur taring
hingga mata buta karena gagal
merekam mekar mawar yang dibungkus
binar kejujuran

Semua akan rugi bila yang dibangun
tiba-tiba menjelma fatamorgana.
Bersekutulah dengan musim
agar paham dan bertahan sampai
tujuan tanpa tameng yang disulap otak
untuk membangunkan penyakit lama

Maret 2010

Selasa, 09 Maret 2010

Ini Rambu Zaman

Syarif Wadja Bae

aku bungkus kalimatmu
lalu aku timbang,
bobotnya bertambah,
tapi setelah aku telaah,
kata demi kata,
ternyata
tidak kutemukan pelangi disana.
aku hanya mendapatkan kuncup bunga.
harumnya jelas terasa
dan membuatmu
ingin segera memetiknya,
namun kau harus sabar,
karena belum waktunya.
biarkan dia seperti padi
yang menjadi cerminmu.

kubaca lagi tulisanmu.
kemudian aku simpulkan,
sebenarnya jalan kita sama
hanya saja cara kita beda
dalam memahami rambu-rambu
di sepanjang jalan itu.
tapi tak apa,
yang penting kita paham
dan bisa melewatinya
hingga bersua
pada tujuan yang sama.

o'iya hati-hati,
di jalan itu
banyak berserakan
bungkusan kalimat,
terlebih kalimat bisu
dan dahaga,
bahkan keadaannya
hampir menyerupai
cerita tentang zaman Ibrahim

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

Minggu, 28 Februari 2010

Perahu Pekat Malam

Jangan sampai sayapmu lunglai
Walau badai menggiring duri dengan banyak tangkai
Bacalah wajah senja yang mampir bersama setiap tetes sejuk di ujung harimu
Dan akan terpampang peta saat kelopakmu terbuka
Untuk memulai perjalanan dalam pekat malam

Biarkan mereka bicara tentang nilai palsu
Dengan congkak melebihi kehendak Tuhan
Yang selalu hadir di setiap detak jantung serta
Tidak peduli pada keringat ibu

Kerap kali ada benalu yang menari
Saat bunga-bunga di langit menjadi kelabu
Menyaksikan manusia-manusia dimakan roda-roda
Dan fajar tak lagi mampu pancarkan puisi pelangi
Di separuh tubuh laut yang mulai keruh akibat goresan luka
Yang menganga sebelum sampai ke muara

Jangan kau diam melihat laju waktu
Dan terlena di atas angan-angannya
Lihatlah dengan mata yang jernih di sepanjang perjalan pekat malam karena ada banyak corak makna disana

Ketika hati, rasa, cinta, dan semua yang berkecamuk di dalam dada ini berdebar bagai gendang yang ditabuh dengan kencang, maka kita harus terus maju merengkuh dayung menuju terang walau yang kita tumpangi cuma perahu sederhana

Syarif Wadja Bae
Februari 2010
Surabaya

Rabu, 20 Januari 2010

Lembayung Sore

Syarif Wadja Bae

Lembayung senja sore tadi dibungkus mendung dan gerimis.
Pulau-pulau menangis meratapi pancaroba tak berujung
seperti diselimuti nuansa mistis.
Pengembara kehilangan jejak dan bingung menghitung persimpangan karena kosong yang tragis.

Lagu Ibu dinyanyikan dengan kelopak hati yang rusak
bersama hidungmu yang terus membengkak
saat gejolak rindu akan cita-cita pudar ditelan ombak.
kau paksa semua semakin terkoyak dalam gelombang kepalsuan yang membuat muak.

aku akui, Sungguh dahsyat pengakuan iblis !
ketimbang kau yang mengaku malaikat ksatria tapi jiwamu bencong.
kau takut pada badai dan teriakan generasi.
kau lebih pantas jadi keong yang merangkak dikawasan peternakan gajah

Januari 2010

Sabtu, 16 Januari 2010

Abu-abu

Pagi turun lagi disini
saat Kelelawar mulai ngantuk.
Corak hujan sulit terbaca dalam bulan tak jelas suara dan cerita.

Ada Manusia menjadi truk gandeng berbentuk reptil
menabrak Pejalan kaki, menggilas dengan bengis dan sadis
tanpa peduli isak tangis.

Pengembara yang mencatat raut senja
terdiam bisu didepan asbak
karena senyum senja juga tak terbaca
dan abu-abu serupa isi asbak.

Bunyi lonceng semakin keras
tanda mereka yang mati dalam hidup
menjelma tikus rakus dihadapan Tuhan yang selalu dijadikan batu pelarian.

Dan orang-orang suci membuka jalan
menuju jawaban teka-teki kepada Generasi yang tak mengerti basa-basi
tentang Negeri yang hatinya terbakar api.

Disini, di Pulau ini, sekarang dibuka pendaftaran Relawan yang punya hati untuk menghapus air mata Ibu yang suci dan membuatnya tersenyum kembali

Surabaya, pertengahan Januari 2010

Senin, 04 Januari 2010

Harus Dikupas

Syarief Wadja Bae

Jiwa mana yang rela melihat cintanya terkoyak, sedang talangan sungai belum selesai dihitung.

Diantara kepingan perih yang mampir pada lembaran malam-malam kita, ada yang harus diusap segera. bercak becek yang menempel dicermin kita.

Jangan terlalu lama tenggelam dalam isak kehilangan. jangan sampai mimpi kita digulung waktu. Kalbu yang dibungkus mendung akan dihapus cahaya bulan, karena lelaki itu telah mengumandangkan Alif dikuping hati matahari.

Karena kenyataan harus dikabarkan maka harus kita kupas semua isyarat yang tersirat, agar padang hijau kita semakin sedikit durinya. Ikhlaskan kepergiannya karena kuncinya ada ditelapak kaki Ibu.


Syarif Wadja Bae
awal Januari 2010