Sabtu, 19 Maret 2011

Oase Keruh

Bagai oase keruh
Sekumpul kolosal kubiarkan didalam kepala
Terjal tandus dengan tikungan menukik bisu bersama jutaan palsu


Secarik kertas bertinta merah melayang kemana - mana
Masuk hingga pelosok ketakutan ratusan Kakek Nenek bahkan ibu ibu di pedalaman


Didepan televisi seorang aktifis kampung mengumpat, "Bajingan... Pengalihan isu lagi... Hati mereka benar-benar disampul uang."


Syarif Wadja Bae
Maret 2011

Kamis, 17 Maret 2011

Jalan Baru

Jika Kunang-kunang muncul malam ini, aku ingin kau menangkapnya. Masukan diantara lingkar lengan saat kau memelukku, agar kita paham cerita malam ini karena aku telah melewati senja tadi seperti tanpa mata.

Aku tahu gapai tangan dan cara langkahmu sehingga aku tak mau memintamu memetik lavender di taman bulan, karena ku yakin tak sampai

Kali ini coba aku diam, dalam hening yang sepi, dalam harapan terang kunang-kunang dalam lingkar lengan kita, untuk saling membaca, selanjutnya pelan-pelan kita buka jalan baru.

Membuka jalan baru lebih baik daripada melewati jalan yang lika-likunya itu-itu saja.
Jangan kerutkan dahi bila lelah pada jalan baru ini. Rebahlah disamping Kunang-kunang sambil membaca dengan nama Tuhanmu hingga lelap. Saat pagi membuka pintunya, segar nafas embun membungkus angan hatimu melewati jalan baru dengan senyum gemilang


Syarif Wadja Bae
Maret 2011

Minggu, 06 Maret 2011

Kepada Penghitung Pahala

Kini sajakku masuk dalam hening siang simalakama. Ah, mungkin itu perasaanku saja. Sebenarnya aku melihat bintangmu berpayung hitam sedang berada dalam iba dan penyesalan.

Cinta kita bagai kegilaan benalu pada melati. Atau mungkin orgasme semut karena gula. Hah, kau lelah karena sering menghitung pahala. Dan kau tidak sadar ada yg selalu bertengger di kedua pundakmu. Lalu pelan-pelan tangan kirimu mulai menulis cerita kebencian tentang tangan kananmu.

Sementara kami menikmati setiap pencarian, karena kami yakin indah akan hadir dari perdebatan tentang apa yang sudah kami temukan. Dan senyum pun selalu membungkus di setiap akhir tetes keringat kami, ada kala juga air mata pencapaian. Karena itu kesetiaan melekat di jiwa kami.

Kau benalu yg terlalu mengagungkan melati, kau tak mampu menjaga harum dan indah imut mekarnya, Hingga naif melekat dalam ruang licikmu yang selalu kau andalkan.
Kau telah menjadi penghitung pahala yg sia-sia.

Syarif Wadja Bae.
Maret 2011