Ada Tanya pada batas perut dan dada.
Merampas tenaga karena jalan.
Melangkah dalam bising sempit
Yang gaungnya bernaung dan berenang
dalam kolam-kolam rapuh.
Lelaki dan perempuan itu dijahit jenuh.
Digiling benang yang terbuat dari debu.
Tak satupun warna pelangi yang mampir saat itu.
Bagai kosong yang bertarung dengan kotak yang menjerat mereka berkali-kali.
Kenapa tak berteriak pada Tuhan dan alam semesta yang kata kalian ada dalam diri?? Mungkin masih bingung mencari tempat yang kalian bilang peneduh??
Datanglah dengan membawa alif yang kalian punya.
Ketuklah pintu kamarku dan temui aku dibalik beningnya air dalam gelas retak.
Dan selanjutnya kita akan ……………………………………………………….
Syarif Wadja Bae
Juni-Oktober 2008
Sabtu, 11 Oktober 2008
Senin, 22 September 2008
Mungkin
malam itu terdengar perbincangan
antara kelelawar dan burung hantu
tentang kepalsuan cahaya bulan.
itu disebabkan burung hantu yang pernah
menikmati siang dan merasakan sinar matahari
yang menurutnya lebih berani dan lebih sejati.
kelelawar pun bertanya;
kenapa kau berani melanggar kodratmu??
bukankah aktifitas kita dimalam hari??.
"bukan maksudku melanggar kodrat,
tapi karena aku resah atas keyakinanku tentang cahaya.
saat itu hatiku yakin bahwa ada cahaya yang lebih dahsyat
dari cahaya bulan". jawab burung hantu.
apa kau melihatnya burung hantu??lanjut si kelelawar.
"sobatku kelelawar, aku tidak sekedar melihatnya,
tapi aku merasakan dan meresapi,
hingga kekuatan cahayanya masuk ke dalam mataku.
tentu kau tak habis pikir" kata burung hantu karena
ekspresi heran yang terlihat dari wajah kelelawar.
setelah itu mereka pun saling diam.
dan tak lama berselang, tiba-tiba tanpa disengaja, secara bersamaan mereka berkata;
tapi apa mungkin itu adalah rahasia dari penglihatan??
mungkin...?? jawab burung hantu...
syarif wadja bae
Kediri-Ende-Surabaya
antara kelelawar dan burung hantu
tentang kepalsuan cahaya bulan.
itu disebabkan burung hantu yang pernah
menikmati siang dan merasakan sinar matahari
yang menurutnya lebih berani dan lebih sejati.
kelelawar pun bertanya;
kenapa kau berani melanggar kodratmu??
bukankah aktifitas kita dimalam hari??.
"bukan maksudku melanggar kodrat,
tapi karena aku resah atas keyakinanku tentang cahaya.
saat itu hatiku yakin bahwa ada cahaya yang lebih dahsyat
dari cahaya bulan". jawab burung hantu.
apa kau melihatnya burung hantu??lanjut si kelelawar.
"sobatku kelelawar, aku tidak sekedar melihatnya,
tapi aku merasakan dan meresapi,
hingga kekuatan cahayanya masuk ke dalam mataku.
tentu kau tak habis pikir" kata burung hantu karena
ekspresi heran yang terlihat dari wajah kelelawar.
setelah itu mereka pun saling diam.
dan tak lama berselang, tiba-tiba tanpa disengaja, secara bersamaan mereka berkata;
tapi apa mungkin itu adalah rahasia dari penglihatan??
mungkin...?? jawab burung hantu...
syarif wadja bae
Kediri-Ende-Surabaya
Selasa, 09 September 2008
Tikar Ibu
Seperti dua titik lesung bulan sabit diatas teratai
Yang melambai Pada sepoi lentik dan gemulai
Sari itu budi
Serupa senyum kertas disetiap langkah tinta.
Begitupula dengan anggunnya Ibu
Saat kita menginjaknya berkali-kali.
Kereta itu masuk ke terowongan
Menabrak ratusan kelelawar yang mengganggu kunang-kunang dalam kepala yang bisu akan ihwal singkatnya usia api pada lilin bodoh.
Menyerang sekujur tubuh rusuh lelaki yang lupa akan banyak mimpi disetiap tidurnya.
Yang dia ingat hanyalah sosok berkerudung duduk dalam gelas terakhir yang sedang menganyam tikar bermotif segala bentuk dengan warna pelangi.
Syarif Wadja Bae
Surabaya-Ende.
Juli-September 2008.
Yang melambai Pada sepoi lentik dan gemulai
Sari itu budi
Serupa senyum kertas disetiap langkah tinta.
Begitupula dengan anggunnya Ibu
Saat kita menginjaknya berkali-kali.
Kereta itu masuk ke terowongan
Menabrak ratusan kelelawar yang mengganggu kunang-kunang dalam kepala yang bisu akan ihwal singkatnya usia api pada lilin bodoh.
Menyerang sekujur tubuh rusuh lelaki yang lupa akan banyak mimpi disetiap tidurnya.
Yang dia ingat hanyalah sosok berkerudung duduk dalam gelas terakhir yang sedang menganyam tikar bermotif segala bentuk dengan warna pelangi.
Syarif Wadja Bae
Surabaya-Ende.
Juli-September 2008.
Selasa, 29 Juli 2008
Purnama-purnama
Kala purnama-purnama mencatat sejarah
Mengobral warna pesona jiwa
Mengtasnamakan hati entah kenapa
Semoga tidak mengucilkan esensinya
Masuk ketelinga
Terlintas didepan mata
Kadang tersaring, kadang hampa
Larut kedalam lalu kau hembuskan dengan raciikanmu
Aroma itu terbang dan menimbulkan
Persepsi-persepsi
Kemudian kau menyebutnya:
Itu purnama
Itu melati
Itu mawar
Coba pandangi setiap apa yang direfleksikannya
Jangan ceroboh untuk melingkari
Hampir setiap jejak dicatat
Harumnya terpancar dari lembaran yang maya
Awas terjebak fatamorgananya.
Biarkanlah singgasana itu terlahir
Jangan kau baluti dengan paksaan.
Memang itu firdaus
Jangan kau buat dia tercoreng
Kau Cuma menyikapinya
Jangan salahkan panggungnya
Lihatlah tarian yang kau pentaskan
Jangan kau telan sabda yang sudah kau tebar
Cahaya bulan itu tidak terlahir
Kaulah matahari yang membuat auranya terpancar.
bukan dengan logika yang menjadikanmu naif
syarif waja bae
Lingkar 18 september 2006
Mengobral warna pesona jiwa
Mengtasnamakan hati entah kenapa
Semoga tidak mengucilkan esensinya
Masuk ketelinga
Terlintas didepan mata
Kadang tersaring, kadang hampa
Larut kedalam lalu kau hembuskan dengan raciikanmu
Aroma itu terbang dan menimbulkan
Persepsi-persepsi
Kemudian kau menyebutnya:
Itu purnama
Itu melati
Itu mawar
Coba pandangi setiap apa yang direfleksikannya
Jangan ceroboh untuk melingkari
Hampir setiap jejak dicatat
Harumnya terpancar dari lembaran yang maya
Awas terjebak fatamorgananya.
Biarkanlah singgasana itu terlahir
Jangan kau baluti dengan paksaan.
Memang itu firdaus
Jangan kau buat dia tercoreng
Kau Cuma menyikapinya
Jangan salahkan panggungnya
Lihatlah tarian yang kau pentaskan
Jangan kau telan sabda yang sudah kau tebar
Cahaya bulan itu tidak terlahir
Kaulah matahari yang membuat auranya terpancar.
bukan dengan logika yang menjadikanmu naif
syarif waja bae
Lingkar 18 september 2006
Rabu, 09 Juli 2008
Kata dan Sapa Kelud
Anak dan asap penuh aura keluar
Dari singgasana rahim mulia.
Bersama hembusan sejuk
Menyapa para pujangga
Yang menembus dan berjalan
Pada kedalaman kata-kata semesta.
Matahari melirik dari balik gunung.
Melengkung dengan dua titik lesung.
Akankah tetap tegak seperti alif
Saat semua belum rampung?
Kediri, Juli 2008
Dari singgasana rahim mulia.
Bersama hembusan sejuk
Menyapa para pujangga
Yang menembus dan berjalan
Pada kedalaman kata-kata semesta.
Matahari melirik dari balik gunung.
Melengkung dengan dua titik lesung.
Akankah tetap tegak seperti alif
Saat semua belum rampung?
Kediri, Juli 2008
Jumat, 27 Juni 2008
Putih Hitam Hitam Putih
Ada putih ada hitam
Ada hitam ada putih
Diawali dengan putih
Kemudian datang hitam
Aku tak mau menyebutnya putih
Dan aku juga tak mau menyebutnya hitam
Aku lebih suka menyebutnya putih-hitam atau hitam-putih
Meski berbagai warna datang menghiasi
Dia tetap putih-hitam atau hitam-putih
Karena itu adalah jawaban yang paling dasar dan paling sadar
Syarif wadja bae
Driyorejo, 03 Maret 2007
Ada hitam ada putih
Diawali dengan putih
Kemudian datang hitam
Aku tak mau menyebutnya putih
Dan aku juga tak mau menyebutnya hitam
Aku lebih suka menyebutnya putih-hitam atau hitam-putih
Meski berbagai warna datang menghiasi
Dia tetap putih-hitam atau hitam-putih
Karena itu adalah jawaban yang paling dasar dan paling sadar
Syarif wadja bae
Driyorejo, 03 Maret 2007
Kamis, 19 Juni 2008
Sedang Sakit
Walau tumbuh diatas muara yang garang
Teratai itu tetap menjadi tikar sederhana
Tempat kau merancang strategi untuk bertahan
Kala ombak nakal datang
Kau tancapkan melati kiriman garuda melankoli.
Kau perintahkan jutaan kunang-kunang
Untuk menghiasi malam-malamnya
Muara itu harum benderang
Tapi kenapa kau tak duduk diatas teratai itu seperti biasanya?
Atau kau hanya ingin duduk disaat kalasuba datang?
Tak lama melati itu berkata: dia sedang sakit karena keasikan
Menikmati sampah-sampah yang dibuang dari tong-tong yang rusak.
Dia sedang mencari ramuan agar sembuh dari sumpah moyangnya
Tentang singgasana pelangi yang kaya dan bercahaya
Syarif Waja Bae
Juni 2008
Teratai itu tetap menjadi tikar sederhana
Tempat kau merancang strategi untuk bertahan
Kala ombak nakal datang
Kau tancapkan melati kiriman garuda melankoli.
Kau perintahkan jutaan kunang-kunang
Untuk menghiasi malam-malamnya
Muara itu harum benderang
Tapi kenapa kau tak duduk diatas teratai itu seperti biasanya?
Atau kau hanya ingin duduk disaat kalasuba datang?
Tak lama melati itu berkata: dia sedang sakit karena keasikan
Menikmati sampah-sampah yang dibuang dari tong-tong yang rusak.
Dia sedang mencari ramuan agar sembuh dari sumpah moyangnya
Tentang singgasana pelangi yang kaya dan bercahaya
Syarif Waja Bae
Juni 2008
Jumat, 06 Juni 2008
PERSIMPANGAN
Mengejar jawaban pada jalan yang dipilih
Banyak persimpangan mengaburkan mata
Menunjuk pada arah yang bukan tujuan
Menggoda dengan warna
Dengan cahaya-cahaya kepalsuan
Dengan jalur yang cuma fatamorgana
Saat berjalan diatas pilihan
Semakin cepat
Semakin cepat
Bahkan terbang bersama abad
Tanpa keraguan
Tanpa rencana dan konsep
Tak lagi peduli pada tipuan di setiap persimpangan
Persetan dengan semua cahaya dan warna yang menggoda
Karena tak mau terserat arus
Dan terhembus angin angin tanpa arah mata tak berjiwa
Masih memegang rindu
Menjalankan lagi kereta pengangkut mimpi yang terputus
Akibat perhentian atas iba dari jeritan kahanan
Sejenak menarik nafas panjang
Meleburkan dan menyaring resah. Penat.
Memancarkannya setelah membentangkan bendera berlambang samadengan
Bersama pijar cahaya yang terlahir dan berjiwa
Meraih yang didepan
Tanpa harus seperti burung hantu yang menuntut malam
Dan bulan yang membenci pagi
Jakarta, Galeri nasional Indonesia
27 februari 2008
Banyak persimpangan mengaburkan mata
Menunjuk pada arah yang bukan tujuan
Menggoda dengan warna
Dengan cahaya-cahaya kepalsuan
Dengan jalur yang cuma fatamorgana
Saat berjalan diatas pilihan
Semakin cepat
Semakin cepat
Bahkan terbang bersama abad
Tanpa keraguan
Tanpa rencana dan konsep
Tak lagi peduli pada tipuan di setiap persimpangan
Persetan dengan semua cahaya dan warna yang menggoda
Karena tak mau terserat arus
Dan terhembus angin angin tanpa arah mata tak berjiwa
Masih memegang rindu
Menjalankan lagi kereta pengangkut mimpi yang terputus
Akibat perhentian atas iba dari jeritan kahanan
Sejenak menarik nafas panjang
Meleburkan dan menyaring resah. Penat.
Memancarkannya setelah membentangkan bendera berlambang samadengan
Bersama pijar cahaya yang terlahir dan berjiwa
Meraih yang didepan
Tanpa harus seperti burung hantu yang menuntut malam
Dan bulan yang membenci pagi
Jakarta, Galeri nasional Indonesia
27 februari 2008
Selasa, 27 Mei 2008
Kutang
Kalatida dan Kalabendu sudah menjadi arus lumpur deras
Kotor, najis, meluluhlantahkan semuanya
Senandung Rahim bumi yang teduh dikoyak-koyak, Dihujam berkali-kali
Aborsi terus berulang
Mulut-mulut dijahit mesin raksasa
anak kecil itu kebingungan mencari kunang-kunang
Yang biasanya dia temui di atas pohon samping pematang yang telah hilang
Dalam pencariannya, Dia malah dikencingi pupa
Malam yang melahirkan candra kirana pupus bersama hilangnya suara srigala yang pergi karena takut akan pagi yang sekarang.
Pagi yang tak sejuk lagi
Pagi yang gagal mengirim embun pada bunga dan rumput
Terlintas sebuah lingkaran generasi yang melingkar menjadi generasi dajal
Rasa takut merasuki hati
Akan ada berita apalagi setelah jendela kamar di buka
Akankah ikan-ikan di bawah jendela itu masih menangis
Dan berenang diatas air matanya sendiri seperti kemarin
Anak kecil itu diam melihat ibunya yang tak tau harus melakukan apa di dapur
Sementara kaki bapak gemetar sebelum sampai di beranda;
Kalimat apalagi yang kupakai untuk menangkis pertanyaan istri dan anakku
Pertanyaan yang selalu sama
Kini Rumah kehilangan harmoni
Dan entah sampai kapan
26 Mei 2008
Kotor, najis, meluluhlantahkan semuanya
Senandung Rahim bumi yang teduh dikoyak-koyak, Dihujam berkali-kali
Aborsi terus berulang
Mulut-mulut dijahit mesin raksasa
anak kecil itu kebingungan mencari kunang-kunang
Yang biasanya dia temui di atas pohon samping pematang yang telah hilang
Dalam pencariannya, Dia malah dikencingi pupa
Malam yang melahirkan candra kirana pupus bersama hilangnya suara srigala yang pergi karena takut akan pagi yang sekarang.
Pagi yang tak sejuk lagi
Pagi yang gagal mengirim embun pada bunga dan rumput
Terlintas sebuah lingkaran generasi yang melingkar menjadi generasi dajal
Rasa takut merasuki hati
Akan ada berita apalagi setelah jendela kamar di buka
Akankah ikan-ikan di bawah jendela itu masih menangis
Dan berenang diatas air matanya sendiri seperti kemarin
Anak kecil itu diam melihat ibunya yang tak tau harus melakukan apa di dapur
Sementara kaki bapak gemetar sebelum sampai di beranda;
Kalimat apalagi yang kupakai untuk menangkis pertanyaan istri dan anakku
Pertanyaan yang selalu sama
Kini Rumah kehilangan harmoni
Dan entah sampai kapan
26 Mei 2008
Minggu, 18 Mei 2008
Merah Putih
Merah tak berani lagi
Putih sudah tak suci
Perputaran ini yang telah membuktikannya
Seperti berada di dalam rimba
Pertiwi diam membisu
Pertiwi kehabisan air mata
Pertiwi diserang struk yang berkepanjangan
Pertiwi dipenjara anak-anaknya yang terus bangga dan latah
Termasuk kau dan aku
Hey! bersatunya merah dan putih telah menjadikanmu janin
Kemudian kita terlahir dengan tangan yang terkepal.
Menandakan kuatnya keinginan untuk hidup
Disertai dengan tangisan yang semangatnya membara…merah…merah...
Ayat-ayat suci menyambut dengan tulus…karena kau putih…tanpa noda
Setelah terbuai dengan ampas-ampas itu
Kita berdusta terhadap merah dan putih
Rusak semuanya
Mana kesaktian merah? Mana auranya putih? Mana?
Lihat! merahnya darah yang tumpah akibat pertikaian sudah menjadi hal yang biasa
Putihnya norma-norma sudah dicabik-cabik. Diobral tanpa harga dengan
Mengatasnamakan zaman yang tidak bisa dilawan
Banyak tanah yang menjadi saksi tragedi
Mulai dari Rencong sampai Cendrawasih
Naluri diperkosa, ideologi tinggal nama
Dan perahunya terus diterpa gelombang yang murka
sia-sia kuhormati kau disetiap senin pagi selama 12 tahun
yang diselingi lagu sang maestro biola
jejak najis ini terus memebekas dan berakar
episodenya terus melangkah dengan dendam dan nafsu
kenapa kita tidak mengkaji benang merah yang dibawa Budha, Bagawan biasa, Jesus Dan Muhammad?
Putih sudah tak suci
Perputaran ini yang telah membuktikannya
Seperti berada di dalam rimba
Pertiwi diam membisu
Pertiwi kehabisan air mata
Pertiwi diserang struk yang berkepanjangan
Pertiwi dipenjara anak-anaknya yang terus bangga dan latah
Termasuk kau dan aku
Hey! bersatunya merah dan putih telah menjadikanmu janin
Kemudian kita terlahir dengan tangan yang terkepal.
Menandakan kuatnya keinginan untuk hidup
Disertai dengan tangisan yang semangatnya membara…merah…merah...
Ayat-ayat suci menyambut dengan tulus…karena kau putih…tanpa noda
Setelah terbuai dengan ampas-ampas itu
Kita berdusta terhadap merah dan putih
Rusak semuanya
Mana kesaktian merah? Mana auranya putih? Mana?
Lihat! merahnya darah yang tumpah akibat pertikaian sudah menjadi hal yang biasa
Putihnya norma-norma sudah dicabik-cabik. Diobral tanpa harga dengan
Mengatasnamakan zaman yang tidak bisa dilawan
Banyak tanah yang menjadi saksi tragedi
Mulai dari Rencong sampai Cendrawasih
Naluri diperkosa, ideologi tinggal nama
Dan perahunya terus diterpa gelombang yang murka
sia-sia kuhormati kau disetiap senin pagi selama 12 tahun
yang diselingi lagu sang maestro biola
jejak najis ini terus memebekas dan berakar
episodenya terus melangkah dengan dendam dan nafsu
kenapa kita tidak mengkaji benang merah yang dibawa Budha, Bagawan biasa, Jesus Dan Muhammad?
Jumat, 09 Mei 2008
PERGULATAN AKHIR BINATANG JALANG
Tatkala Harimau-harimau memproklamirkan diri
Memegang perangkat hukum
Merusak meja hijau belantara
Keadilan rimba mencapai titik puncak sakaratul maut
Persekutuan serigala dan burung Hantu
Dicakar hingga tak bersuara
Burung Nazar mati
karena kekenyangan ribuan usus busuk binatang jalang
harimau membagi warisan hingga tujuh turunan
masing-masing menguasai wilayahnya
yang penuh dengan daging-daging segar
akhirnya semuanya mati
yang tertinggal hanyalah kaum mereka
Polemik terjadi
Dilema terus memusingkan otak mereka
Isi rimba tinggal nama
Kemana lagi harus mencari daging-daing segar
Daun dan ranting melakukan bunuh diri secara berjamaah
karena panggilan hati
semua pohon rapuh
tinggal padang yang tandus, kering dan retak
Harimau-harimau itu kebingungan
Jutaan suara terdengar dari langit: ha..ha..ha…
seraya berkata ha..ha..ha…
apalagi yang akan kau makan bajingan!!!
Sanggar Pramuka Lawang
06-07 Feb 2007
Syarif Wadja Bae
Memegang perangkat hukum
Merusak meja hijau belantara
Keadilan rimba mencapai titik puncak sakaratul maut
Persekutuan serigala dan burung Hantu
Dicakar hingga tak bersuara
Burung Nazar mati
karena kekenyangan ribuan usus busuk binatang jalang
harimau membagi warisan hingga tujuh turunan
masing-masing menguasai wilayahnya
yang penuh dengan daging-daging segar
akhirnya semuanya mati
yang tertinggal hanyalah kaum mereka
Polemik terjadi
Dilema terus memusingkan otak mereka
Isi rimba tinggal nama
Kemana lagi harus mencari daging-daing segar
Daun dan ranting melakukan bunuh diri secara berjamaah
karena panggilan hati
semua pohon rapuh
tinggal padang yang tandus, kering dan retak
Harimau-harimau itu kebingungan
Jutaan suara terdengar dari langit: ha..ha..ha…
seraya berkata ha..ha..ha…
apalagi yang akan kau makan bajingan!!!
Sanggar Pramuka Lawang
06-07 Feb 2007
Syarif Wadja Bae
Langganan:
Postingan (Atom)