Kamis, 16 Juni 2011

BINTANGMU DAN GERHANAKU

Kalian adalah cinta yang terlalu mengagungkan malam.

Seolah menjadi trauma yang membingungkan,

dan bahkan menguatkan benteng kenaifan

 

Aku duduk diatas tenda,

melihat bintangmu menggelinding di pinggir bukit.

Bintangmu mencoba ingkar,

membuatmu mundur teratur

saat kau menginginkan pelangi.

Tapi kenapa kau masih tetap di tempatmu,

di bibir muara untuk menjerumuskan sekujur tubuh dalam kenaifan.

Ya, kalian naïf karena menceburkan Tuhan kedalam muara itu.

Padahal sangatlah mudah bagi Tuhan untuk menenggelamkan kalian.

Terserah, jika kenaifan yang kau pilih menjadi sabun mandimu.

 

Dalam gelap aku membacamu sambil

Mempersiapkan diri setelah lingkar gelap gerhana pergi.

Dan membawa pulang ruh gerhanaku setelah sinar subuh

bersama embun - embun

                                                                               

Syarif Wadja Bae. Juni 2011

KALIAN DAN BURAM GERHANA

 

Burung – burung bersorak kabarkan keheranan.

di bawah trembesi perantau menyaksikan

 

Disitu kau duduk merajut tembang

yang sempat berkelana jauh

hampir tak kembali.

Tidak Cuma lagu, dari situ sajak lahir,

dari cerita cahaya gelombang laut

yang membias buramkan gerhana,

serta penunggu di dermaga,

tempat sua kalian

untuk menghancurkan sisa – sisa naif

dan keraguan langkah.

 

 

Syarif Wadja bae. Juni 2011

Jumat, 01 April 2011

Patah di ujung lidah

Tuangkan saja pada mulut subuh jika kau lelah dan tak mau rubuh oleh catatan singkat yang menggunung memanas di tubuh hatimu yang hampir runtuh

Dia belum bisa merajut benang dalam kepal kalbumu.agar tak lagi berunding tentang musim yang telah purna di mata kalian maka keluarlah dari stempel yang menginjak dirimu. ini bukan kisah sepotong musim tapi ini adalah kata yang patah di ujung lidah

Bila kau bilang jaman yang menjadi sebab dari perbedaan, kau sama saja pecundang yang hilang arah dalam petamu sendiri. ayo tuangkan, kalau perlu muntahkan saja semua di mulut subuh ini, Saudaraku


Syarif Wadja Bae
akhir Maret 2011

Buntu

Aku lihat lima potong rasa dalam kepalamu. Kau benturkan pada kata-kata. Seperti selambar daun yang berharap segera punah ditengah jernihnya telaga.

Kau sukar temui sunyi dalam diam yang kau paksakan. Sulit Mencari mekar aksara. Menjadi angan dan menyisakan angin, lalu hilang tanpa sedikitpun bisa kau baca sendiri.

Kadang kau berkaca pada layang-layang dimendungnya siang namun pecah oleh hujan.

Puisimu tenggelam di benak. Dan kau lupa mencuri tinta dalam detak dadamu


Syarif Wadja Bae
Akhir Maret 2011

Sabtu, 19 Maret 2011

Oase Keruh

Bagai oase keruh
Sekumpul kolosal kubiarkan didalam kepala
Terjal tandus dengan tikungan menukik bisu bersama jutaan palsu


Secarik kertas bertinta merah melayang kemana - mana
Masuk hingga pelosok ketakutan ratusan Kakek Nenek bahkan ibu ibu di pedalaman


Didepan televisi seorang aktifis kampung mengumpat, "Bajingan... Pengalihan isu lagi... Hati mereka benar-benar disampul uang."


Syarif Wadja Bae
Maret 2011

Kamis, 17 Maret 2011

Jalan Baru

Jika Kunang-kunang muncul malam ini, aku ingin kau menangkapnya. Masukan diantara lingkar lengan saat kau memelukku, agar kita paham cerita malam ini karena aku telah melewati senja tadi seperti tanpa mata.

Aku tahu gapai tangan dan cara langkahmu sehingga aku tak mau memintamu memetik lavender di taman bulan, karena ku yakin tak sampai

Kali ini coba aku diam, dalam hening yang sepi, dalam harapan terang kunang-kunang dalam lingkar lengan kita, untuk saling membaca, selanjutnya pelan-pelan kita buka jalan baru.

Membuka jalan baru lebih baik daripada melewati jalan yang lika-likunya itu-itu saja.
Jangan kerutkan dahi bila lelah pada jalan baru ini. Rebahlah disamping Kunang-kunang sambil membaca dengan nama Tuhanmu hingga lelap. Saat pagi membuka pintunya, segar nafas embun membungkus angan hatimu melewati jalan baru dengan senyum gemilang


Syarif Wadja Bae
Maret 2011

Minggu, 06 Maret 2011

Kepada Penghitung Pahala

Kini sajakku masuk dalam hening siang simalakama. Ah, mungkin itu perasaanku saja. Sebenarnya aku melihat bintangmu berpayung hitam sedang berada dalam iba dan penyesalan.

Cinta kita bagai kegilaan benalu pada melati. Atau mungkin orgasme semut karena gula. Hah, kau lelah karena sering menghitung pahala. Dan kau tidak sadar ada yg selalu bertengger di kedua pundakmu. Lalu pelan-pelan tangan kirimu mulai menulis cerita kebencian tentang tangan kananmu.

Sementara kami menikmati setiap pencarian, karena kami yakin indah akan hadir dari perdebatan tentang apa yang sudah kami temukan. Dan senyum pun selalu membungkus di setiap akhir tetes keringat kami, ada kala juga air mata pencapaian. Karena itu kesetiaan melekat di jiwa kami.

Kau benalu yg terlalu mengagungkan melati, kau tak mampu menjaga harum dan indah imut mekarnya, Hingga naif melekat dalam ruang licikmu yang selalu kau andalkan.
Kau telah menjadi penghitung pahala yg sia-sia.

Syarif Wadja Bae.
Maret 2011

Senin, 14 Februari 2011

nol

Daun kering.
Debu usang.
Besi tua.
Merinding.
Karena jutaan nyawa bersolawat untukmu.
Terimakasih wahai Al-Mustofa

Sapa Untuk "Benny Israel"

Di tiap ujung, entah siang maupun malam.
Saling bersaut.
Ramai semilir berbisik.
Di antaranya, ada cerita panjang mengintip dari balik jendela yang pelan - pelan terbuka.
Banyak yang bertanya,
"Siapa yang mulai membuka jendela itu"

*Ujung Januari 2011

Kamis, 20 Januari 2011

Telanjang

Oleh: Syarief Wadja Bae

Saat dia telanjang, aku Melihat luka berbaris tak rapi.
Terlintas pesan Bapak yang selalu diulang Mama, tentang jiwa yang besar; nurani dan kekuatan pikiran adalah sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri.
Jauh sebelum pra-ilmiah kebenaran telah dicabik.
Dan untuk kesekian kalinya, Aku melihat dia telanjang.

Bahkan bekas jahitan di kulitnya dilukai lagi.
Kadang aku benci pada daun kering yang merasa pengabdiannya seperti malaikat yang hidup Cuma sesaat.
Tumbuh, menghijau dalam pelukan dahan, memberi kita oksigen, lalu kering, jatuh, dan memilih bersekutu dengan tanah.
Kenapa tidak memilih untuk mengobati tubuh kebenaran? Atau menjadi pakaiannya?

Samudra yang menampung segala, membuat aku cemburu. aku bertanya pada samudra, kenapa tidak kau ajak kebenaran di daratan tenggelam dalam perutmu?
Mungkin ikan-ikan bisa merawat tubuh telanjangnya yang penuh dengan luka.
Pernah ada yang bilang, puisi itu tidak nyata. Beberapa orang dalam suatu waktu pernah berkata, cerpen itu maya.
Namun sekarang semua sudah menjadi puisi.

Di media berhamburan realita seperti cerpen.
Seolah-olah fiksi dan fakta saling menyamar.
Dan tubuh kebenaran terus dibakar.
Ini bukan gambaran putus asa.
Tapi kita perlu bertanya ulang, apakah kita sudah belajar di sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri?

Aku melihat tubuh kejujuran menjadi sangat gendut.
Disuap segala macam transaksi.
Sewaktu kita kecil, film, komik, puisi, dan cerpen, menyajikan kisah yang berkesimpulan heroik.
Beranjak remaja dan dewasa dalam perspektif usia, kita disuguhkan cerita dan berita yang membuat kita bingung menjelaskan mana yang pahlawan dan mana yang bukan.

Susno atau Gayus kah yang menjadi pahlawan kita?
Banyak buku yang seakan-akan menjadi ahli sejarah.
Sementara adik-adik kita beluma paham dengan jelas Tan Malaka itu siapa.
Banyak dari kita yang menyamakan antara menghargai waktu demi perut dan demi kepentingan para penjahat yang menginjak kita selama ini.

Kalau tidak kerja mertua bawel.
Sudah kerja pun masih ditanya bagaimana jaminan hari tua kita, dan kelangsungan masa depan anak serta cucunya nanti.
Seolah-olah tidak percaya adanya akhirat.
Memangnya siapa yang mau lapar?

Namun apa kita mau membiarkan tubuh kejujuran terus gendut tak beraturan hanya demi mertua?
Lalu seperti apa tubuh ideal untuk kejujuran?
Di jaman seperti sekarang kejujuran belum tentu benar.
Dan tubuh kebenaran yang telanjang, telah berulangkali dibanjiri luka.
Mari kita belajar berjiwa besar.
Karena nurani dan kekuatan pikiran adalah sekolah tempat membaca dan menulis semesta raya dalam diri.

Terimakasih Mama.
Terimakasih Mama.
Terimakasih Mama.

Engkau selalu mengingatkan aku dengan pesan Bapak.



Januari 2011

*Puisi lain, klik di sini.

Minggu, 02 Januari 2011

Catatan Langkah

Oleh Syarief Waja Bae

Kita menjelma serbuk arang.
Menetaskan tegang dari lidah kita.
Jangan gagap dengan keadaan ini.
Bebaskan pikiranmu berkelana dalam alur kodrat.

Sesekali kita Membara seperti matahari merobek pori-pori.
Mari kita Petik segala yang kita muntahkan pada debat.
Ini bukan luka, tapi ini catatan langkah.
Yang didalamnya terselip ilmu makna.

Di lingkaran ini, kita bangun.
Tentu ada resiko bila terpeleset.
Teori memang penting, tapi akan lebih penting jika berguru pada keadaan.

Desember 2010

Sent through BlackBerry®